Tuesday, August 16, 2016

Tentang Surat Ar-Rahman

"Budi mau nikah"

Sebuah kalimat yang langsung mendapatkan respons campur aduk dari bapak dan mamah ketika Aa (kakak laki-laki) mengutarakannya di ruang keluarga kami. Aku yang juga ada di sana hanya terdiam menunggu reaksi apa yang akan diberikan orang tuaku pada kakak lelakiku satu-satu nya yang saat itu berumur 23 tahun.

"Yakin udah siap ?", tanya bapakku menyembunyikan rasa kagetnya walaupun terlihat dari raut wajahnya ia berharap Aa menjawab belum siap atau masih bingung. Lebih tepatnya aku tidak bisa membaca ekspresi campur aduk itu. Bahagia kah, bangga kah, yang jelas ada sedikit ragu.

"Insya Allah." Jawab Aa mantap. Sepertinya hanya itu jawaban yang diperlukan bapak. Sejak kecil, kami selalu dibebaskan untuk membuat pilihan kami sendiri tanpa kekangan. Selama pilihan itu baik, tidak berbahaya, tidak berefek buruk, tidak menghabiskan uang orang tua dengan percuma.

Lain dengan Mamah yang jelas rasa kaget nya selain bercampur bahagia juga bercampur rasa tidak rela. Sebuah perasaan yang sangat wajar.

"Gak kecepetan ? Gak mau kuliah dulu ? Bantuin ibu dulu ?" Tanya ibuku bertubi-tubi.

Aa menunduk, menghela napas, pasti sulit menjawab semua pertanyaan itu dalam satu kalimat. Terutama ketika sejumlah beban disematkankjo di ujung pertanyaan.

"Iya. Mau. Tapi kan Budi juga butuh penguat buat menjalani semua ini."

Penguat ?

Sekarang giliranku yang bertanya, dalam hati. Aku yang saat itu masih duduk di kelas 3 SMK, yang baru saja berhasil membuktikan kepada diri sendiri bahwa pribadi yang kemampuan inter personalnya di bawah rata-rata ini pada akhirnya bisa berhasil secara mandiri di sekolah dan organisasi tanpa inferior ini belum memahami konsep bahwa seseorang membutuhkan orang lain untuk menjalani hidup nya. Untuk mencapai target personalnya.

Dan semua keraguan pun berakhir beberapa bulan kemudian. Sembilan tahun yang lalu, di sebuah masjid di mana surat Ar-Rahman dilafalkan Aa sebagai hadiah kepada istrinya. Sebuah surat yang beberapa waktu kemudian baru aku sadari ternyata selalu dibaca oleh mamah setiap hari setelah shalat. Surat yang juga selalu dibaca bapak setelah shalat maghrib atau isya. Juga surat yang sedang dibaca bapak saat itu ketika aku pamit terakhir kali sebelum kembali ke Jakarta dan mendengar kabar kepergiannya.

I miss you all.